Jumat, 12 November 2010

Memimpin untuk Dilayani atau Melayani untuk Memimpin? Tuesday, 09 November 2010 16:21 | Written by Betti Alisjahbana

Banyak orang mengasosiasikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lalu, kekuasaan dan wewenang itulah yang dijadikan alat untuk memimpin, untuk mencapai tujuan-tujuan kepemimpinannya.
Pemimpin-pemimpin terbaik justru bekerja dengan melayani. Sebagai pemimpin, mereka melihat perannya adalah melayani timnya, agar potensi-potensi terbaik dari timnya ini dapat dimunculkan. Mereka meng-coach, membimbing, mementori, dan memberikan dorongan. Itulah sejatinya yang dilakukan seorang pemimpin: melayani.

Bulan lalu, sebagai ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA), saya mendapat kehormatan untuk menghayati apa arti kepemimpinan yang sejati. Dua pemenang BHACA 2010 adalah Walikota Solo, Joko Widodo, dan Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto. Keduanya sungguh merupakan contoh ideal pemimpin yang sukses karena melayani rakyat yang dipimpinnya.

Mendengarkan Sambil Mentraktir Makan Ala Jokowi

Sementara di banyak tempat kekerasan menjadi alat yang diandalkan untuk memaksakan relokasi PKL (pedagang kaki lima), di Solo Jokowi menggunakan cara yang jauh berbeda. Para pedagang ini dia ajak berdialog sambil makan. Ketika kenyang, seseorang akan lebih mudah diajak berbicara, dalihnya.

Para PKL ini diyakinkan bahwa relokasi adalah jalan yang jauh lebih baik. Kepada mereka diberikan kios di tempat yang baru, SIUP, dan TDP gratis agar mereka dapat menjadi pedagang formal yang bisa memimjam uang dari Bank. Tidak jarang dialog sambil makan itu harus dilakukan berkali-kali oleh Jokowi, sebelum mereka akhirnya berhasil diyakinkan. Jokowi mendengarkan keluh kesah mereka dan mencarikan jalan keluar bagi mereka. Alhasil, ribuan PKL itu dengan suka rela bersedia direlokasi.

Sebagai akibatnya, Solo pun menjadi kota yang tertata apik, dengan jalur hijau dan jalur pejalan kaki yang nyaman. Bukan hanya itu, Pendapatan Asli Daerah Solo yang didapatkan dari pasar juga mencapai Rp19,2 miliar, lebih tinggi ketimbang pendapatan yang berasal dari hotel sebesar Rp7 miliar, parkir Rp1,8 miliar, atau papan reklame Rp4 miliar.

Selama 40 tahun periode sebelum Jokowi memimpin, tak satu pasar pun dibangun di Solo. Dalam 5 tahun kepemimpinannya, ada 15 pasar dibangunnya. Daerah-daerah lain mengeluhkan anggaran yang tidak mencukupi. Namun, Jokowi punya pendekatan yang berbeda dalam menyiasati anggaran ini.

Sebelumnya, anggaran yang terbatas disebarkan merata sehingga masing-masing daerah mendapatkan porsi anggaran yang kecil, sehingga hasilnya menjadi serba tanggung. Jokowi lalu memilih fokus kepada satu bidang saja setiap tahun, namun konsepnya dibuat secara matang, dilaksanakan dengan perencanaan yang baik, serta diawasi dengan betul sehingga hasilnya menjadi signifikan, bagus, dan tidak ada kebocoran.

Tahun berikutnya, ia memfokuskan anggaran untuk bidang yang lainnya. Semua dilaksanakan dengan kualitas yang baik, sehingga penggunaan anggarannya menjadi sangat efisien. Banyak yang berhasil dicapai oleh Jokowi. Selain 15 pasar yang berhasil dibangunnya, pembangunan taman kota, trotoar bagi pejalan kaki, perbaikan administrasi pelayanan, pengembangan green belt di tepi sungai  Bengawan Solo sepanjang 7 kilometer pun telah membuat Solo menjadi kota yang nyaman dihuni.

Melayani Ala Herry Zudianto

Herry yang berlatar belakang entrepreneur sudah biasa melayani pelanggan. Saat menjadi walikota, paradigmanya pun tetap sama: melayani. Kepada jajaran Pemkot Yogya, dia menanamkan sikap “saiyeg sak eko kapti” (bersatu dalam cita), “saiyeg sak eko proyo” (bersatu dalam karya) dalam melakukan reformasi birokrasi dan mewujudkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat.

Dalam kepemimpinannya, Herry berhasil mengembangkan berbagai inovasi layanan publik, khususnya di sektor investasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lingkungan hidup. Dinas perijinan satu pintu dibangunnya untuk memangkas proses perijinan yang berbelit-belit.

Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan masyarakat diwujudkannya dalam pembuatan APBD yang transparan dan partisipatif. Saluran untuk menyampaikan masukan pun dibuat melalui mekanisme komplain elektronik yang dikenal sebagai UPIK (Unit Pelayanan Informasi keluhan).

Pendekatan yang memberdayakan, yang dilakukan oleh Herry, telah membuat masyarakat Yogya sangat terlibat dalam memecahkan berbagai masalah publik—sesuatu yang sangat disyukuri oleh Herry. Terbukti, indeks persepsi korupsi dan indeks good governance Kota Yogyakarta sangat bagus, yakni peringkat pertama untuk indeks persepsi korupsi pada tahun 2008.

Banyak pemimpin pemerintah maupun swasta mencapai tujuannya dengan menggunakan kekuasaan dan wewenang yang dia miliki. Namun, pemimpin yang paling efektif adalah ketika mereka dapat mempengarui orang lain dengan cara yang menyentuh hati dan merebut respek, karena mereka mau mendengar, menghayati, dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Kalau Jokowi dan Herry bisa, tentu kita pun bisa menjadi pemimpin yang melayani.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana
Last Updated (Tuesday, 09 November 2010 16:46)
 

Ramalan Sabdo Palon

SERAT SABDOPALON

PUPUH SINOM

1. Padha sira ngelingana
Carita ing nguni-nguni
Kang kocap ing sêrat Babad
Babad nagri Mojopahit
Nalika duk-ing nguni
Sang-a Brawijaya Prabu
Pan samya pêpanggihan
Kaliyan Njêng Sunan Kali
Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Ingatlah kalian semua,
Akan cerita masa lalu,
Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah )
Babad Negara Majapahit,
Ketika saat itu,
Sang Prabhu Brawijaya,
Tengah bertemu,
Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga,
Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.


2. Sang-a Prabu Brawijaya
Sabdanira arum manis
Nuntun dhatêng punakawan
Sabda Palon paran karsi
Jênêngsun sapuniki
Wus ngrasuk agama Rasul
Heh ta kakang manira
Meluwa agama suci
Luwih bêcik iki agama kang mulya.


Sang Prabhu Brawijaya,
Bersabda dengan lemah lembut,
Mengharapkan kepada kedua punakawan( pengiring dekat )-nya,
Tapi Sabdo Palon tetap menolak,
Diriku ini sekarang,
Sudah memeluk Agama Rasul,
Wahai kalian kakang berdua,
Ikutlah memeluk agama suci,
Lebih baik karena ini agama yang mulia.


3. Sabda palon matur sugal
Yen kawula boten arsi
Ngrasuka agama Islam
Wit kula puniki yêkti
Ratuning Dang Hyang Jawi
Momong marang anak putu
Sagung kang para Nata
Kang jumênêng ing tanah Jawi
Wus pinasthi sayêkti kula pisahan.


Sabdo Palon menghaturkan kata-kata agak keras,
Hamba tidak mau,
Memeluk agama Islam,
Sebab hamba ini sesungguhnya,
Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa,
Memelihara kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ),
(Serta) semua Para Raja,
Yang memerintah di tanah Jawa,
Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang Prabhu), kita harus berpisah.


4. Klawan Paduka sang Nata
Wangsul maring sunya ruri
Mung kula matur petungna
Ing benjang sakpungkur mami
Yen wus prapta kang wanci
Jangkêp gangsal atus taun
Wit ing dintên punika
Kula gantos agami
Gama Buddhi kula sêbar ing tanah Jawa.


Dengan Paduka Wahai Sang Raja,
Kembali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak ada tapi ada),
Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung,
Kelak sepeninggal hamba,
Apabila sudah datang waktunya,
Genap lima ratus tahun,
Mulai hari ini,
Akan saya ganti agama (di Jawa),
Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.


5. Sintên tan purun nganggeya
Yêkti kula rusak sami
Sun sajakkên putu kula
Brêkasakan rupi-rupi
Dereng lêga kang ati
Yen durung lêbur atêmpur
Kula damêl pratandha
Pratandha têmbayan mami
Hardi Mrapi yen wus njêblug mili lahar.


Siapa saja yang tidak mau memakai,
Akan saya hancurkan,
Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal,
Makhluk halus berwarna-warni,
Belum puas hati hamba,
Apabila belum hancur lebur,
Saya akan membuat pertanda,
Pertanda sebagai janji serius saya,
Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.


6. Ngidul ngilen purugira
Nggada bangêr ingkang warih
Nggih punika wêkdal kula
Wus nyêbar agama Buddhi
Mêrapi janji mami
Anggêrêng jagad satuhu
Karsanireng Jawata
Sadaya gilir gumanti
Botên kenging kalamunta kaowahan.


Kearah selatan barat mengalirnya,
Berbau busuk air laharnya,
Itulah waktunya,
Sudah mulai menyebarkan agama Budhi,
Merapi janji saya,
Menggelegar seluruh jagad,
Kehendak Tuhan,
(Karena) segalanya (pasti akan) berganti,
Tidak mungkin untuk dirubah lagi.


7. Sangêt-sangêting sangsara
Kang tuwuh ing tanah Jawi
Sinêngkalan tahunira
Lawon Sapta Ngêsthi Aji
Upami nyabarang kali
Prapteng têngah-têngahipun
Kaline banjir bandhang
Jêrone ngelebna jalmi
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Sangat sangat sengsara,
Yang hidup ditanah Jawa,
Perlambang tahun kedatangannya,
LAWON SAPTA NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978),
Seandainya menyeberangi sebuah sungai,
Ketika masih berada ditengah-tengah,
Banjir bandhang akan datang tiba-tiba,
Tingginya air mampu menenggelamkan manusia,
Banyak manusia sirna karena mati.


8. Bêbaya ingkang tumêka
Warata sa Tanah Jawi
Ginawe Kang Paring Gêsang
Tan kenging dipun singgahi
Wit ing donya puniki
Wontên ing sakwasanipun
Sadaya pra Jawata
Kinarya amêrtandhani
Jagad iki yêkti ana kang akarya.

Bahaya yang datang,
Merata diseluruh tanah Jawa,
Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup,
Tidak bisa untuk ditolak,
Sebab didunia ini,
Dibawah kekuasaan,
Tuhan dan Para Dewa,
Sebagai bukti,
Jagad ini ada yang menciptakan.


9. Warna-warna kang bêbaya
Angrusakên Tanah Jawi
Sagung tiyang nambut karya
Pamêdal boten nyêkapi
Priyayi keh bêranti
Sudagar tuna sadarum
Wong glidhik ora mingsra
Wong tani ora nyukupi
Pamêtune akeh sirna aneng wana.


Bermacam-macam mara bahaya,
Merusak tanah Jawa,
Semua yang bekerja,
Hasilnya tidak mencukupi,
Pejabat banyak yang lupa daratan,
Pedagang mengalami kerugian,
Yang berkelakuan jahat semakin banyak,
Yag bertani tidak mengahsilkan apa-apa,
Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.


10. Bumi ilang bêrkatira
Ama kathah kang ndhatêngi
Kayu kathah ingkang ilang
Cinolong dening sujanmi
Pan risaknya nglangkungi
Karana rêbut rinêbut
Risak tataning janma
Yen dalu grimis keh maling
Yen rina-wa kathah têtiyang ambegal.


Bumi hilang berkahnya,
Banyak hama mendatangi,
Pepohonan banyakyang hilang,
Dicuri manusia,
Kerusakannya sangat parah,
Sebab saling berebut,
Rusak tatanan moral,
Apabila malam hujan banyak pencuri,
pabila siang banyak perampok.


11. Heru hara sakeh janma
Rêbutan ngupaya kasil

Pan rusak anggêring praja
Tan tahan pêrihing ati
Katungka praptaneki
Pagêblug ingkang linangkung
Lêlara ngambra-ambara
Waradin sak-tanah Jawi
Enjing sakit sorenya sampun pralaya.


Huru hara seluruh manusia,
Berebut mencari hidup
Rusak tatanan negara,
Tidak tahan perdihnya hati,
Disusul datangnya,
Wabah yang sangat mengerikan,
Penyakit berjangkit kemana-mana,
Merata seluruh tanah Jawa,
Pagi sakit sorenya mati.


12. Kêsandhung wohing pralaya
Kaselak banjir ngêmasi
Udan barat salah mangsa
Angin gung anggêgirisi
Kayu gung brastha sami
Tinêmpuhing angin agung
Kathah rêbah amblasah
Lepen-lepen samya banjir
Lamun tinon pan kados samodra bena.


Belum selesai wabah kematian,
Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi,
Hujan besar salah waktu,
Angin besar mengerikan,
Pohon-poho besar bertumbangan,
Disapu angin yang besar,
Banyak yang roboh berserakan,
Sungai-sungai banyak yang banjir,
Apabila dilihat bagaikan lautan.


13. Alun minggah ing daratan
Karya rusak têpis wiring
Kang dumunung kering kanan
Kajêng akeh ingkang keli
Kang tumuwuh apinggir
Samya kentir trusing laut
Sela gêng sami brastha
Kabalêbêg katut keli
Gumalundhung gumludhug suwaranira.


Ombak naik kedaratan,
Membuat rusak pesisir pantai,
Yang berada dikiri kanannya,
Pohon banyak yang hanyut,
Yang tumbuh dipesisir,
Hanyut ketengah lautan,
Bebatuan besar hancur berantakan,
Tersapu ikut hanyut,
Bergemuruh nyaring suaranya.


14. Hardi agung-agung samya
Huru-hara nggêgirisi
Gumalêgêr swaranira
Lahar wutah kanan kering
Ambleber angêlêbi
Nrajang wana lan desagung
Manungsanya keh brastha
Kêbo sapi samya gusis
Sirna gêmpang tan wontên mangga puliha.


Gunung berapi semua,
Huru hara mengerikan,
Menggelegar suaranya,
Lahar tumpah kekanan dan kekirinya,
Menenggelamkan,
Menerejang hutan dan perkotaan,
Manusia banyak yang tewas,
Kerbau dan Sapi habis,
Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.


15. Lindhu ping pitu sadina
Karya sisahing sujanmi
Sitinipun samya nêla
Brêkasakan kang ngêlêsi
Anyeret sagung janmi
Manungsa pating galuruh
Kathah kang nandhang roga
Warna-warna ingkang sakit
Awis waras akeh kang prapteng pralaya.


Gempa bumi sehari tujuh kali,
Membuat ketakutan manusia,
Tanah banyak yang retak-retak,
Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam,
menyeret semua manusia,
Manusia menjerit-jerit,
Banyak yang terkena penyakit,
Bermacam-macam sakitnya,
Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.


16. Sabda Palon nulya mukswa
Sakêdhap botên kaeksi
Wangsul ing jaman limunan
Langkung ngungun Sri Bupati
Njêgrêg tan bisa angling
Ing manah langkung gêgêtun
Kêdhuwung lêpatira
Mupus karsaning Dewadi
Kodrat iku sayêkti tan kêna owah.


Sabdo Palon kemudian menghilang,
Sekejap mata tidak terlihat sudah,
Kembali ke alam misteri,
Sangat keheranan Sang Prabhu,
Terpaku tidak bisa bergerak,
Dalam hati merasa menyesal,
Merasa telah berbuat salah,
Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan,
Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa dirubah lagi.